Pages

Selasa, 13 November 2012

ZAT PEWARNA


A.    Defenisi Zat pewarna
Zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau memucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik (Noviana, 2005).
Beberapa alasan utama penambahan zat pewarna pada makanan, yaitu (Syah, 2005) :
1. Untuk menutupi perubahan warna akibat paparan cahaya, udara atau temperatur yang ekstrim akibat poses pengolahan dan penyimpanan.
2. Memperbaiki variasi alami warna. Produk pangan yang ”salah warna” akan di asosiasikan denagn kualitas rendah. Jeruk yang matang di pohon misalnya, sering disemprot pewarna Citrus Red No 2 untuk memperbaiki warnanya yang hijau atau oranye kecoklatan. Tujuan penambahan warna untuk menutupi kualitas yang buruk sebetulnya tidak bisa diterima apalagi menggunakan pewarna yang berbahaya.
3. Membuat identitas produk pangan. Seperti : identitas es krim strawberi adalah merah.
4. Menarik minat konsumen dengan pilihan warna yang menyenangkan.
5. Untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar matahari selama produk di simpan.
B.     Bahan Pewarna Makanan
Secara sistematis, bahan pewarna makanan dapat digolongkan dalam tiga kelompok : bahan kondensat batubara (coal-tar), bahan tumbuhan dan bahan mineral.
a. Bahan Kondensat Batubara
Bahan pewarna ini didapat dari hasil kondensasi proses distalasi batubara. hasil kondensat batubara ini umumnya terdiri dari bahan hidrokarbon, fenol, bahan dasar lain (piridin) dan karbon bebas. bahan pewarna yang diperoleh dari bahan batubara ini dapat termasuk yang larut dalam air (bersifat asam atau basa) atau dapat larut dalam minyak. contoh warna kondensat batubara yang larut dalam air.
1. Merah : Ponceau 4R, Carmoisine, Fast Red E, Amarant, Erythrosine BS
2. Kuning : Sunset Yellow FCF, Tatrazine
3. Biru : Indigo Carmine
b. Bahan Pewarna Tumbuhan
Bahan pewarna yang didapat dari akar, buah atau batang tanaman, termasuk annato (warna kuning coklat yang diambil dari biji tanaman Bixa orrelana), caramel (coklat), khlorofil (hijau), cochineal, saffaron, turmeric dan masih banyak lagi yang lain.
Macam – Macam Zat Pewarna
Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan yaitu :
1. Pewarna Alami
Pewarna alami merupakan warna yang diperoleh dari bahan alami, baik nabati, hewani ataupun mineral. Secara kuantitas, dibutuhkan zat pewarna alami yang lebih banyak daripada zat pewarna sintetis untuk menghasilkan tingkat pewarnaan yang sama. Pada kondisi tersebut, dapat terjadi perubahan yang tidak terduga pada tekstur dan aroma makanan. Zat pewarna alami juga menghasilkan karakteristik warna yang lebih pudar dan kurang stabil bila dibandingkan dengan zat pewarna sintetis. Oleh karena itu zat ini tidak dapat digunakan sesering zat pewarna sintetis.
Beberapa pewarna alami yang telah banyak dikenal masyarakat misalnya adalah daun suji untuk membuat warna hijau, kunyit untuk warna kuning, daun jati untuk warna merah, dan gula merah untuk warna coklat. Zat pewarna alami ini lebih aman digunakan daripada zat pewarna sintetis. Pewarna alami yang sering digunakan sebagai pewarna makanan adalah sebagai berikut :
a. Antosianin, pewarna ini memberikan pengaruh warna oranye, merah dan biru. Warna ini secara alami tedapat pada buah anggur, strawberry, apel, dan bunga. Betasianin dan Betaxantin, termasuk pewarna nabati yang diperoleh dari marga tanaman centrospermae, diantaranya bit dan bougenvil yang memberikan tampilan warna kuning dan merah.
b. Karotenoid, dapat memberi warna kuning, merah dan oranye.
c. Klorofil, zat warna hijau yang terdapat dalam daun, permukaan batang tanaman, dan kulit buah-buahan.
d. Karamel, adalah cairan atau serbuk berwarna coklat gelap yang diperoleh dari pemanasan karbohidrat secara terkontrol yaitu dektrosa, laktosa, sirup malt.
e. Kurkumin, merupakan zat warna alami yang diperoleh dari tanaman kunyit.


2. Pewarna Buatan (Sintetis)
        Zat pewarna sintetis merupakan zat pewarna buatan manusia. Karakteristik dari zat pewarna sintetis adalah warnanya lebih cerah, lebih homogen dan memiliki variasi warna yang lebih banyak bila dibandingkan dengan zat pewarna alami. Disamping itu penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan bila dihitung berdasarkan harga per unit dan efisiensi produksi akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan zat pewarna alami.
Pewarna sintetis merupakan sumber utama pewarna komersial untuk hampir seluruh industri makanan utama. Karena sifat pewarna sintetis mendasari sifat kelarutannya dalam air, maka sangatlah mutlak diperlukan untuk mewarnai makanan yang mengandung air. Jika kelarutannya dalam air kurang sempurna, tentu saja warna yang diinginkan tidak akan tercapai dengan baik dan menarik. Secara lebih khusus lagi, pewarna sintetik masih dibagi menjadi dua macam yaitu Dyes dan Lakes.
        Perbedaan keduanya berdasarkan bilangan-bilangan rumus kimianya, yaitu kelompok azo, triarilmetana, quinolin dan lain–lain.
Dyes adalah zat warna yang larut dalam air sehingga larutannya menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan. Biasanya diperjual-belikan dalam bentuk granula (butiran), cairan, campuran warna dan pasta. Dyes umumnya digunakan untuk mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti, dan kue-kue produk susu, pembungkus sosis dan lain-lain. Zat warna ini stabil untuk berbagai macam penggunaan dalam bahan pangan. Dalam bentuk kering tidak memperlihatkan adanya kerusakan.
        Sedangkan Lakes adalah pigmen yang dibuat melalui pengendapan dari penyerapan dye pada bahan dasar. Produk-produk makanan yang kadar airnya terlalu rendah untuk dapat melarutkan dye biasanya menggunakan lakes, misalnya untuk pelapisan tablet, campuran adonan kue, cake dan donat. Dibandingkan dengan dyes, maka lakes pada umumnya bersifat lebih stabil terhadap cahaya, kimia dan panas sehinga harga lakes umumnya lebih mahal daripada harga dyes.
        Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam makanan dikenal sebagai permitted color atau certified color. Untuk penggunaan zat warna tersebut harus menjalani tes dan prosedur penggunaan yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Yuliarti, 2007)

Daftar pustaka :
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25060/4/Chapter II.pdf


Rabu, 26 September 2012

Minyak dan Lemak

1. Pendahuluan
Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan penting dalam diet karena beberapa alasan. Lemak merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung lemak esensial. Namun konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya kolesterol dan lemak jenuh. Dalam berbagai makanan, komponen lemak memegang peranan penting yang menentukan karakteristik fisik keseluruhan, seperti aroma, tekstur, rasa dan penampilan. Karena itu sulit untuk menjadikan makanan tertentu menjadi rendah lemak (low fat), karena jika lemak dihilangkan, salah satu karakteristik fisik menjadi hilang. Lemak juga merupakan target untuk oksidasi, yang menyebabkan pembentukan rasa tak enak dan produk menjadi berbahaya.Analisis lemak dalam makanan meliputi :
• Kadar lemak total
• Jenis lemak yang ada
• Sifat fisikokima lemak, seperti kristalisasi, titik leleh, titik asap, rheologi, densitas dan warna
• Struktur lemak dalam makanan

2. Sifat Lemak dalam Makanan
Lemak biasanya dinyatakan sebagai komponen yang larut dalam pelarut organik (seperti eter, heksan atau kloroform), tapi tidak larut dalam air. Senyawa yang termasuk golongan ini meliputi triasilgliserol, diasilgliserol, monoasilgliserol, asam lemak bebas, fosfolipid, sterol, karotenoid dan vitamin A dan D. Fraksi lemak sendiri mengandung campuran kompleks dari berbagai jenis molekul. Namun triasilgliserol merupakan komponen utama sebagian besar makanan, jumlahnya berkisar 90-99% dari total lemak yang ada.Triasilgliserol merupakan ester dari tiga asam lemak dan sebuah molekul gliserol. Asam lemak yang ditemukan di makanan bervariasi panjang rantainya, derajat ketidakjenuhannya dan posisinya pada molekul gliserol. Akibatnya fraksi triasilgliserol sendiri mengandung campuran kompleks dari berbagai jenis molekul yang berbeda. Masing-masing jenis lemak mempunyai profil lemak yang berbeda yang menentukan sifat fisikokimia dan nutrisinya.Istilah lemak, minyak dan lipid sering digunakan secara berbeda oleh ahli makanan.
Umumnya yang dimaksud lemak adalah lipid yang padat, sedangkan minyak adalah lipid yang cair pada suhu tertentu. 

3. Pemilihan dan Persiapan Sampel
Validitas hasil analisis tergantung sampling yang baik dan persiapan sampel sebelum dilakukan analisis. Idealnya komposisi sampel yang dianalisis harus mendekati sama dengan kondisi makanan saat sampel diambil. Preparasi sampel pada analisis lemak tergantung pada jenis makanan yang dianalisis (contoh daging, susu, kue dan krim), sifat komponen lemak (seperti volatilitas, peluang oksidasi, kondisi fisik) dan jenis prosedur analisis yang digunakan (seperti ekstraksi solven, ekstraksi non-solven, instrumentasi). Untuk menentukan prosedur preparasi sampel, perlu diketahui struktur fisik dan lokasi lemak penting dalam
makanan. Umumnya preparasi sampel harus ilakukan dalam lingkungan yang meminimalkan perubahan spesifik terhadap lemak. Jika oksidasi menjadi masalah, penting untuk melakukan preparasi sampel dalam atmosfer nitrogen, temperatur rendah, minim cahaya atau dengan penambahan antioksidan. Bila kandungan lemak padat atau struktur kristal penting, perlu dilakukan kontrol suhu dan penanganan sampel secara khusus.

4. Penentuan Kadar Lemak Total

4.1. Pendahuluan
Kadar lemak total dalam makanan perlu ditentukan karena:
• Faktor ekonomi
• Aspek legal (mematuhi standar/aturan pelabelan nutrisi)
• Aspek kesehatan (perkembangan makanan rendah lemak)
• Aspek kualitas (sifat makanan tergantung kadar lemak total)
• Faktor proses (kondisi proses tergantung kadar lemak total)
Karakteristik fisikokimia utama dari lemak yang digunakan untuk membedakan lemak dari komponen lain dalam makanan adalah kelarutannya dalam pelarut organik, ketidaktercampuran dengan air, karakteristik fisik (densitas yang rendah dan sifat spektroskopik. Teknik analisis berdasarkan ketiga karakter di atas diklasifikasikan menjadi :
(i) ekstraksi solven
(ii) ekstraksi non-solven
(iii) metode instrumental
4.2. Ekstraksi Solven
Fakta bahwa lemak larut dalam air, tapi tidak larut dalam air, membuat pemisahan lemak dari komponen makanan lain yang larut air seperti protein, karbohidrat dan mineral, menjadi mudah. Teknik ekstraksi solven merupakan metode yang paling sering digunakan untuk isolasi lemak dan menentukan kandungan lemak dalam makanan.
Preparasi Sampel
Preparasi sampel untuk ektraksi solven biasanya meliputi beberapa tahap:
• Pengeringan sampel. Sampel perlu dikeringkan sebelum ekstraksi solven, karena beberapa pelarut organik tidak bisa berpenetrasi dengan baik bila ada air dalam sampel makanan, sehingga ekstraksi menjadi tidak efisien.
• Pengecilan ukuran partikel. Sampel kering biasanya perlu dihaluskan sebelum ekstraksi solven untuk menghasilkan sampel yang homogen dan meningkatkan luas permukaan lemak. Penghalusan sering dilakukan pada suhu rendah untuk mengurangi oksidasi lemak.
• Hidrolisis asam. Beberapa jenis makanan mengandung lemak yang membentuk kompleks dengan protein (lipoprotein) atau polisakarida (glikolipid). Untuk menentukan kadar senyawa ini, perlu dilakukan pemutusan ikatan antara lemak dan komponen non-lemak sebelum ekstraksi solven. Hidrolisis asam umumnya dilakukan untuk melepaskan lemak terikat sehingga lebih mudah terekstraks, misalnya dengan mendigesti sampel selama 1 jam dengan HCl 3N.
• Pemilihan solven. Solven ideal untuk ekstraksi lemak harus mampu secara sempurna mengesktraksi semua komponen lemak dari makanan, dan meninggalkan komponen selain lemak. Efisiensi solven tergantung polaritas lemak yang ada. Lemak polar (seperti glikolipid atau fosfolipid) lebih mudah larut dalam solven yang lebih polar (alkohol) dari pada dalam solven non-polar (seperti heksan). Sebaliknya lemak nonpolar
(seperti triasilgliserol) lebih mudah larut dalam solven non-polar dibanding dalam solven polar. Fakta bahwa lemak yang berbeda mempunyai polaritas yang berbeda menyebabkan tidak mungkin menggunakan pelarut organik tunggal untuk mengesktraksi semuanya. Sehingga penentuan kandungan lemak total menggunakan
ekstraksi solven tergantung pada pelarut organik yang digunakan untuk ekstraksi. Selain pertimbangan di atas, solven juga harus murah, mempunyai titik didih rendah (sehingga mudah dipisahkan dengan evaporasi), non-toksik dan tidak mudah terbakar. Pelarut yang biasa digunakan untuk penentuan kadar lemak total dalam makanan adalah etil eter, petroleum eter, pentan dan heksan.
Macam-macam Ekstraksi Solven :
a. Batch Solvent Extraction
Metode ini dilakukan dengan mencampur sampel dan solven dalam wadah yang sesuai (misalnya corong pisah). Wadah dikocok kuat, solven organik dan fase air dipisahkan (oleh gravitasi atau dengan sentrifugasi). Fase air dihilangkan, dan konsentrasi lemak ditentukan dengan menguapkan solven dan mengukur massa lemak yang tersisa. % lemak = 100 x (berat lemak / berat sampel)
Prosedur ini harus diulang beberapa kali untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi. Fase air diekstraksi kembali dengan solven baru, kemudian semua fraksi solven dikumpulkan dan kadar lemak ditentukan dengan penimbangan setelah solven diuapkan.
b. Semi-Continuous Solvent Extraction
Alat yang paling sering digunakan dalam metode ini adalah soxhlet, dimana efisiensi ekstraksi lebih baik dari pada metode Batch Solvent Extraction. Sampel dikeringkan, dihaluskan dan diletakkan dalam thimble berpori. Thimble diletakkan dalam alat soxhlet yang dihubungkan dengan kondensor. Labu soxhlet dipanaskan, solven menguap, terkondensasi dan masuk ke bejana ekstraksi yang berisi sampel, dan mengesktraksi sampel. Lemak tertinggal di labu karena perbedaan titik didih. Pada akhir ekstraksi, solven diupakan dan massa lemak yang tersisa ditimbang.

Prosedur :
1. Timbang kurang lebih 2 g sampel, masukkan dalam timble ekstraksi.
2. Timbang labu ekstraksi yang telah dikeringkan.
3. Masukkan eter anhidrat dalam labu didih (labu ekstraksi).
4. Rangkai alat : labu didih, labu soxhlet, kondensor.
5. Lakukan ekstraksi dengan kecepatan tetesan solven dari kondensor 5-6 tetes per detik selama 4 jam.
6. Keringkan labu didih yang berisi ekstrak lemak di oven pada 100?C selama 30 min, dinginkan di desikator dan timbang.
% lemak = 100 x (berat lemak / berat sampel)
c. Continuous Solvent Extraction
Metode Goldfish merupakan metode yang mirip dengan metode Soxhlet kecuali labu ekstraksinya dirancang sehingga solven hanya melewati sampel, bukan merendam sampel. Hal ini mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi, tapi dengan kerugian bisa terjadi “saluran solven” dimana solven akan melewati jalur tertentu dalam sampel sehingga ekstraksi menjadi tidak efisien. Masalah ini tidak terjadi pada metode Soxhlet, karena sampel terendam dalam solven.
d. Accelerated Solvent Extraction
Efisiensi ekstraksi solven dapat ditingkatkan dengan melakukannya pada suhu dan tekanan tinggi. Efektivitas solven untuk ekstraksi lemak dari sampel makanan meningkat dengan peningkatan temperatur, namun tekanan juga harus ditingkatkan untuk menjaga solven tetap dalam keadaan cair. Hal ini akan mengurangi jumlah pelarut yang dibutuhkan sehingga menguntungan dari sisi lingkungan. Sudah tersedia instrumen untuk ekstraksi lemak pada suhu dan tekanan tinggi.
e. Supercritical Fluid Extraction
Ekstraksi solven dapat dilakukan dengan alat khusus menggunakan CO2 superkritik sebagi pelarut, yang sangat ramah lingkungan karena tidak menggunakan pelarut organik. Bila CO2 ditekan dan dipanaskan di atas temperatur kritis tertentu, akan menjadi cairan superkritik, yang mempunyai karakteristik gas maupun cairan. Karena CO2 berbentuk gas maka mudah berpenetrasi ke dalam sampel dan mengekstraksi lemak, dan karena juga berbentuk cair maka CO2 dapat melarutkan sejumlah besar lemak (terutama pada tekanan tinggi).Prinsip dari alat ini adalah, sampel makanan dipanaskan dalam bejana bertekanan tinggi kemudian dicampur dengan cairan CO2 superkritik. CO2 mengekstraksi lemak dan membentuk lapisan solven terpisah dari komponen air. Tekanan dan suhu solven kemudian diturunkan menyebabkan CO2 berubah menjadi gas, sehingga menyisakan fraksi lemak. Kandungan lemak dalam makanan dihitung dengan menimbang lemak yang terekstraksi, dibandingkan dengan berat sampel.

 
Copyright (c) 2010 ulfah ithu MUO. Design by WPThemes Expert

Blogger Templates and RegistryBooster.